Upaya menjaga kelestarian hutan
mangrove dapat dilakukan melalui teknik silvofishery dan pendekatan bottom up
dalam upaya rehabilitasi. Silvofishery merupakan teknik pertambakan ikan dan
udang yang dikombinasikan dengan tanaman kehutanan dalam hal ini adalah
vegetasi hutan mangrove. Usaha ini dilakukan guna meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sekitar hutan dan memelihara ekosistem hutan mangrove sehingga
terjaga kelangsungan hidupnya.
Selama ini pelaksanaan
pemulihan ekosistem mangrove yang telah terjadi pada beberapa tahun belakangan
ini dilakukan atas perintah dari atas. Seperti suatu kebiasan dalam suatu
proyek apapun yang namanya rencana itu senantiasa datangnya dari atas sedangkan
bawahan (masyarakat) sebagai ujung tombak pelaksana proyek hanya sekedar
melaksanakan perintah atau dengan istilah populer dengan pendekatan top-down.
Pelaksanaan proyek semacam ini
tentu saja kurang memberdayakan potensi masyarakat, padahal idealnya masyarakat
tersebutlah yang harus berperan aktif dalam upaya pemulihan ekosistem mangrove
tersebut, sedangkan pemerintah hanyalah sebagai penyedia dana, pengontrol dan
fasilitator berbagai kegiatan yang terkait. Akibatnya setelah selesai proyek,
yaitu saat dana telah habis, tentu saja pelaksana proyek tersebut merasa sudah
habis pula tangung jawabnya. Di sisi lain masyarakat tidak merasa ikut memiliki
(sense of belonging tidak tumbuh) hutan mangrove tersebut. Masyarakat
beranggapan bahwa hutan mangrove tersebut adalah milik pemerintah dan bukan
milik mereka, sehingga jika masyarakat membutuhkan, mereka tinggal mengambil
tanpa merasa diawasi oleh pemerintah atau pelaksana proyek (Savitri dan
Khazali, 1999).
Karena pendekatan top down
kurang memberdayakan masyarakat maka diterapkanlah pendekatan secara bottom up
yang merupakan suatu teknik dalam rehabilitasi hutan mangrove yang lebih banyak
melibatkan masyarakat. Seyogyanya upaya pemulihan hutan mangrove adalah atas
biaya pemerintah, sedangkan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi keberhasilan dan
pemanfaatannya secara berkelanjutan semuanya dipercayakan kepada masyarakat.
Dalam pelaksanaannya kegiatan tersebut dapat juga melibatkan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) bersama perangkat desa, pemimpin masyarakat dan lain-lain.
Dengan demikian semua proses rehabilitasi (reboisasi) hutan mangrove yang
dimulai dari proses penanaman, perawatan, penyulaman dilakukan oleh masyarakat
sehingga masyarakat merasa memiliki dan akan selalu turut menjaga kelestarian
hutan mangrove (Rahmawaty, 2006).
Hasil dari kegiatan dengan
pendekatan bottom up ini akan menjadikan masyarakat enggan untuk merusak hutan
mangrove yang telah mereka tanam, sekalipun tidak ada yang mengawasinya, karena
masyarakat sadar bahwa kayu yang mereka potong tersebut sebenarnya adalah milik
mereka bersama. Tugas pemerintah hanyalah memberikan pengarahan secara umum
dalam pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan, sebab tanpa arahan yang
jelas nantinya akan terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaan jangka
panjang. Pendekatan bottom up akan menumbuhkan partisipasi masyarakat juga
sekaligus merupakan proses pendidikan bagi masyarakat (Savitri dan
Khazali,1999).
Selain itu juga kondisi hutan
mangrove yang terjaga dapat menjadi objek wisata yang pada akhirnya mampu
menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya. Hutan mangrove merupakan
objek wisata alam yang sangat menarik. Hutan mangrove yang telah dikembangkan
menjadi obyek wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke
(DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap
(Jawa Tengah). Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan
laut memiliki keunikan. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang
lingkungan langsung dari alam.
Ada beberapa hal penting
lainnya yang dapat dilaksanakan dalam upaya pelestarian hutan mangrove, yaitu:
1. Mengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi tepat guna yang mengkombinasikan antara teori dengan pengetahuan
tradisional yang sudah terbentuk sebelumnya yang lebih mudah diterima dan
dikembangkan sesuai dengan keadaan setempat.
2. Perlu adanya
peraturan-peraturan tertulis mengenai tanggung jawab pemerintah dan masyarakat
akan kelangsungan ekosistem hutan mangrove berupa peraturan daerah.
Seperti kita ketahui bersama,
tambak tradisional yang telah dikembangkan selama berabad-abad silam tidak
terlalu menjadi hal yang merisaukan dari segi lingkungan karena menggunakan
vegetasi mangrove sebagai bagian dari sistem. Hal ini merupakan suatu bentuk
kearifan lokal yang patut dijadikan orientasi dalam pelestarian hutan mangrove.
Untuk pengembangan teknologi yang berorientasi pada tradisi masyarakat perlu
kiranya dilakukan penelitian-penelitian seputar kawasan hutan mangrove yang
melibatkan masyarakat pesisir. Untuk itu perlu adanya peran aktif para peneliti
baik dari civitas akademika maupun dari lembaga-lembaga penelitian pemerintah
dan swasta. Selain itu peran serta pemerintah sebagai fasilitator sangat
diharapkan sehingga akan memperlancar terlaksananya berbagai riset yang
berhubungan dengan upaya pelestarian hutan mangrove.
Peraturan-peraturan daerah
mengenai perlindungan kawasan hutan mangrove merupakan hal yang penting sebagai
pengontrol kegiatan masyarakat di kawasan tersebut untuk mengatur pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan. Sebagai contoh Peraturan Daerah Kota Tarakan
nomor 04 tahun 2002 tentang Larangan dan Pengawasan Hutan Mangrove di kota
Tarakan yang mengatur fungsi dan peran hutan mangrove, hak dan tanggung jawab
masyarakat, larangan, pengawasan serta sanksi bagi perusak ekosistem hutan
mangrove.
Menurut Khazali (2005),
struktur sosial dan bentuk pemanfaatan serta intensitas interaksi wilayah
pesisir oleh masyarakat perlu diketahui dalam kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove agar kelompok target masyarakat yang terlibat, baik prioritas maupun
bukan prioritas dapat ditentukan. Biasanya kelompok target prioritas adalah
tokoh masyarakat, petambak, nelayan dan lain-lain. Sedangkan persepsi
masyarakat terhadap hutan mangrove dan rencana penanaman yang akan dilaksanakan
penting diketahui untuk memantau persepsi masyarakat terhadap mangrove. Jika
persepsi masyarakat negatif atau tidak mendukung terhadap rencana kegiatan
penanaman vegetasi mangrove, maka pertama kali yang harus dilaksanakan adalah
membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan mangrove dan pentingnya
manfaat penanaman bagi mereka melalui pendidikan dan penyuluhan.
Beberapa hal yang dapat
dilakukan dalam membangun kesadaran masyarakat antara lain:
1. Diskusi bersama masyarakat
untuk memahami kondisi pantai saat ini dan sebelumnya.
2. Mengidentifikasi dan
menyadari bersama dampak hilang/rusaknya hutan mangrove.
3. Menentukan dan menyepakati
bersama solusi mengatasi masalah akibat hilang/rusaknya hutan mangrove.
4. Sosialisasi
peraturan-peraturan yang berlaku tentang hutan mangrove.
5. Studi banding untuk
menyakini dan memperluas wawasan tentang manfaat hutan mangrove, perencanaan
dan pelaksanaan bersama penanaman mangrove, serta pembentukan kelompok
masyarakat pengelola dan pelestari hutan mangrove.
Kemampuan masyarakat
tradisional dalam memecahkan masalah-masalah dalam pengelolaan sumber daya alam
yang semakin terbatas dapat masuk dalam kerangka konservasi hutan mangrove.
Kemampuan ini lebih dikenal dengan sebutan sistem pengetahuan masyarakat
setempat (local knowledge system). Kemampuan ini berkembang bukan hanya
terbatas kepada bagaimana memanfaatkan hutan adat mereka, tetapi juga
penyerapan teknologi pola pertanian tradisional (perladangan) termasuk pola
agroklimatologi yang khusus disetiap tempat (Patriono, dkk.,2005).
No comments:
Post a Comment