DI KERAMBA JARING APUNG TELUK EKAS,
KABUPATEN LOMBOK
TIMUR, NUSA TENGGARA BARAT
Fris
Johnny 1, Prisdiminggo2 dan Des Roza1
1Balai Besar
Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali PO BOX 140, Singaraja 81101, Bali
2Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian, NTB PO BOX 1017 Mataram
87010 Mataram
ABSTRACT
The groupers cultured on net cages as develop at Ekas Bay,
Kabupaten Lombok Timur, NTB by Institute Research Technology for Agriculture,
NTB. Groupers culture as humpback
grouper, Cromileptes altivelis, tiger
grouper, Epinephelus fuscoguttatus, and
orangespotted grouper, Epinephelus
coioides. Groupers showed clinical
signs furuncles or hemorrhagic ulcers on body surface and the lesions develop
to erosion with hemorrhages on fin. An
experiment was aimed to isolate and characterize bacteria from infected
groupers. Bacteria isolate from ulcers and finrot of diseased fish grew well at
Thiosulphate Citrate Bile Salt Sucrose Agar (TCBSA) giving yellow colony. The bacteria was identified as Vibrio sp.
Keywords
: bacterial diseases, groupers, net
cage, Ekas Bay
ABSTRAK
Budidaya ikan kerapu di dalam keramba jaring apung
(KJA) telah dikembangkan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, NTB di
Teluk Ekas, Kabupaten Lombok Timur, NTB.
Ikan kerapu yang telah dibudidayakan adalah jenis ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, ikan kerapu
macan, Epinephelus fuscoguttatus,dan
ikan kerapu lumpur, Epinephelus
coioides. Pada budidaya ikan
kerapu tersebut ditemukan ikan sakit dengan
gejala klinis borok pada bagian tubuh dan sirip busuk. Dari gejala klinis tersebut diduga ikan
kerapu terserang penyakit infeksi bakteri.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis bakteri penyebab
penyakit pada ikan kerapu budidaya. Di
Laboratorium Patologi Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali,
ikan kerapu bebek, ikan kerapu macan dan ikan kerapu lumpur yang sakit telah
diisolasi isolat bakteri dari borok dan sirip yang busuk. Isolat tersebut dapat tumbuh baik pada
media “thiosulphate citrate bile salt
sucrose agar” (TCBSA) dengan warna
koloni kuning Bakteri ini
diklasifikasikan ke dalam genus Vibrio
sp.
Kata
kunci :
penyakit infeksi, bakteri, ikan kerapu, keramba jaring apung, Teluk Ekas
PENDAHULUAN
Budidaya
ikan kerapu pada beberapa lokasi di Indonesia
sudah semakin berkembang, terutama budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung
(KJA). Hal ini disebabkan karena semakin
tersedianya benih secara teratur, baik dalam jumlah maupun ukuran. Panti benih di Gondol, Bali
bagian utara telah semakin berkembang dan mampu menjamin pasokan benih. Tadinya benih ikan kerapu sangat mengandalkan
pasokan alam yang jumlahnya sangat terbatas dan waktu pasok yang tidak menentu. Karena itu pemerintah mendorong segala upaya
yang mengarah kepada kegiatan budidaya ikan kerapu khususnya melalui jaring
apung di laut (Subiyanto et al., 2001).
Usaha
budidaya laut merupakan salah satu usaha yang dapat memberikan alternatif
sumber penghasilan untuk meningkatkan pendapatan bagi nelayan. Apabila usaha budidaya berkembang, maka
produksi dapat ditingkatkan baik jumlah maupun mutunya. Dampak lebih lanjut dari usaha ini adalah
kesejahteraan masyarakat nelayan mengalami peningkatan (Akbar, 2001).
Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian, NTB telah mencoba mengembangkan keramba jaring
apung di Teluk Ekas, Desa Batunampar, Lombok Timur, NTB. Usaha budidaya ikan kerapu di keramba jaring
apung yang dikembangkan adalah jenis kerapu bebek (Cromileptes altivelis), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), dan kerapu lumpur (Epinephelus coioides).
Pengembangan usaha budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung
mempunyai kelebihan antara lain rendahnya biaya operasional dibandingkan dengan
nilai ekonomi yang dihasilkan serta teknologi budidayanya yang sederhana dan
mudah diadaptasikan di masyarakat petani nelayan secara luas.
Permasalahan
yang timbul pada budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung adalah terjadinya
penyakit. Salah satu penyakit yang
ditemukan pada ikan kerapu adalah penyakit infeksi bakteri dengan gejala klinis
adanya borok pada bagian tubuh, dan sirip yang busuk (Koesharyani & Zafran,
1997; Zafran et al., 1998;
Koesharyani et al., 2001; Wijayati
& Djunaidah, 2001; Johnny & Roza, 2002; Johnny & Prisdiminggo,
2002).
Penelitian
ini bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri yang menginfeksi ikan kerapu di
keramba jaring apung.
METODE
Ikan Uji
Dari keramba jaring apung dikoleksi ikan
uji dari ikan kerapu bebek, Cromileptes
altivelis, ikan kerapu macan, Epinephelus
fuscoguttatus, dan ikan kerapu lumpur.
Epinephelus coioides. Ikan uji yang
digunakan adalah dari kelompok ikan yeng terlihat sakit dengan memperlihatkan
gejala klinis. Setiap ikan uji dari
masing-masing kelompok diamati gejala klinis yang terlihat, seperti perubahan
warna kulit, luka-luka erosi disertai pendarahan, dan pembusukan pada
sirip.
Isolasi dan
Identifikasi Bakteri
Koleksi isolat bakteri diambil dari borok
pada bagian tubuh ikan kerapu, dan bagian sirip yang busuk. Isolasi dilakukan pada media penumbuh”tryptone soya agar” (TSA), media “thiosulphate citrate bile
salt sucrose agar” (TCBSA), kemudian
diinkubasi pada suhu 25-280C
selama 24-48 jam. Pemurnian terhadap
bakteri yang tumbuh dominan pada media TSA
dan TCBSA dilakukan dengan
menggunakan media “marine agar” (MA). Hasil pemurnian bakteri ini selanjutnya
digunakan sebagai bahan uji.
Identifikasi isolat bakteri dilakukan berdasarkan acuan (Holt et
al., 1994).
Isolasi
Ulang Bakteri
Isolat bakteri uji dibiakkan dalam media MA yang diinkubasikan selama 24-48 jam
pada suhu 260C, kemudian dipanen menggunakan air laut steril. Kepadatan bakteri 108 cfu/mL
ditentukan berdasarkan McFarland “equivalence
turbidity standard 1.0” setara dengan kepadatan bakteri 108 cfu/mL. Selanjutnya isolat bakteri tersebut digunakan
sebagai bahan infeksi buatan dengan cara menyuntikkan intraperitoneal sebanyak 0,1 mL/individu. Ikan kontrol disuntik menggunakan NaCl
fisiologis dengan dosis yang sama. Ikan
uji yang digunakan adalah juvenil ikan kerapu bebek, ikan kerapu macan, dan
ikan kerapu lumpur, bobot antara 8-19 gram, panjang total antara 5-9 cm
masing-masing 10 ekor untuk setiap kelompok.
Pengamatan dilakukan terhadap gejala klinis dan mortalitas ikan uji, dan
melakukan isolasi ulang bakteri dari organ ginjal dan luka erosi.
Uji Sensitivitas
terhadap Antibiotik
Dari isolat bakteri yang diperoleh
dilakukan uji sensitivitas terhadap
antibiotik dilakukan secara in-vitro.
Bakteri uji dioleskan secara merata pada lempengan media agar, selanjutnya
pada bagian permukaan diletakkan lempeng antibiotik yang sudah mengandung
antibiotik yang akan diuji, yaitu eritromisin (15 mg), ampisilin (10 mg), klorampenikol (30 mg), dan oksitetrasiklin (30 mg), produksi Oxoid Unipath Limited, Besingstoke,
Hampshire, UK. Kemudian diinkubasikan
pada suhu 26 0C selama 24 jam.
Tingkat sensitivitas ditentukan melalui pengukuran zona penghambatan
yang diakibatkan oleh masing-masing antibiotik uji.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Isolasi dan
Identifikasi Bakteri
Isolat bakteri dominan diisolasi dari luka
erosi atau borok dan sirip busuk pada ikan kerapu bebek, ikan kerapu macan, dan
ikan kerapu lumpur yang sakit, berasal dari keramba jaring apung di daerah
Teluk Ekas, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Dari isolat dominan yang diperoleh
selanjutnya diberi kode LG-1802, LG-2802, LG-3802, LG-4802, LG-5802, LG-6802,
dan LG-7802, selanjutnya digunakan dalam penelitian ini (Tabel 1).
Tabel 1. Pertumbuhan bakteri yang diisolasi dari borok
dan sirip busuk pada media tumbuh bakteri
Organ
|
Media
bakteri
|
TSA
|
TCBSA
|
Borok
|
+
|
+
|
Sirip busuk
|
+
|
+
|
Tabel 1,
menunjukkan bahwa isolat bakteri yang dimurnikan pada media MA adalah isolat yang tumbuh pada media TSA dan TCBSA. Pada media TSA hampir semua jenis bakteri tumbuh dan tidak
spesifik untuk satu bakteri. Sedangkan
pada media TCBSA bakteri yang tumbuh
adalah spesifik untuk bakteri dari genus vibrio.
Dengan berpedoman kepada Holt et al. (1994) isolat bakteri LG-2802,
LG-5802 dan LG-7802 diidentifikasikan sebagai genus vibrio. Tabel 2 menunjukkan karakter dari isolat
tersebut antara lain gram negatif, sitokrom oksidase positif, dan sensitif
terhadap agen vibrio statik 0/129 150 mg.
Bakteri vibrio dapat bersifat patogen terhadap ikan, seperti Vibrio harveyi yang ditemukan sebagai
penyebab penyakit mata pada ikan bandeng, Chanos
chanos di Filipina (Muroga et al.,
1984), kasus infeksi mata ikan common snook, Centropomus undecemalis (Kraxberger et al., 1990).
Gambar
1. Penyakit borok pada ikan kerapu
Di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya
Laut Gondol, Bali kasus penyakit borok pada ikan kerapu merupakan salah satu
penyakit penting pada budidaya ikan kerapu di dalam keramba jaring apung.
Penyakit ini dapat menyebabkan kematian masal seperti halnya infeksi
iridovirus. Sampai sekarang penyakit ini
ditemukan pada calon induk kerapu lumpur dan fingerling kerapu macan. Pada fingerling kerapu macan, penyakit ini
terjadi 1 minggu setelah ikan dipelihara di dalam keramba jaring apung. Mortalitas dari masing-masing kasus dapat
mencapai 10-20% meskipun telah diterapi dengan antibiotik. Pada kasus penyakit borok pada ikan kerapu
(Gambar 1), ikan yang mengalami kematian secara akut memperlihatkan beberapa
gejala eksternal, sedangkan pada kasus kronis terlihat pembengkakan atau
luka-luka kemerahan yang merupakan ciri khas yang dapat diamati pada permukaan
tubuh. Bakteri penyebab infeksi ini
termasuk ke dalam genus Vibrio dan di
Gondol telah diidentifikasi sebagai Vibrio
alginolyticus (Koesharyani et al., 2001).
Gambar
2. Penyakit sirip busuk pada ikan
kerapu
|
|
Kasus penyakit sirip busuk pada ikan kerapu,
penyebab utama adalah jenis bakteri Flexibacter
yang menyerang ikan kerapu bebek. Pada
ikan kerapu bebek yang dibudidayakan di panti benih sering ditemukan adanya
sirip busuk dengan luka kemerahan (Gambar 2).
Dari luka-luka ini, satu jenis bakteri telah diisolasi dan
diidentifikasikan sebagai bakteri Flexibacter
maritimus. Meskipun bakteri ini
bukan penyebab dari sistemik septikemia, jika pengobatan tidak dilakukan, maka
kondisi ikan akan semakin buruk dengan infeksi sekunder oleh vibrio (Koesharyani et al., 2001; Johnny & Roza, 2002; Johnny & Prisdiminggo,
2002).
Dalam percobaan ini bakteri Flexibacter maritimus sebagai infeksi
primer tidak dapat diisolasi dan diidentifikasi, diduga bakteri vibrio sebagai
infeksi sekunder sudah sangat dominan.
Kasus sirip busuk pada ikan
kerapu menunjukkan bakteri vibrio hanya berperan dalam infeksi sekunder yang
dapat timbul setiap waktu tergantung pada faktor lingkungan serta faktor
lainnya (Saeed, 1995).
Bakteri
vibrio diketahui sebagai bakteri oportunistik dan merupakan bakteri yang sangat
ganas dan berbahaya pada budidaya ikan kerapu karena dapat bertindak sebagai
patogen primer dan sekunder. Sebagai
patogen primer bakteri masuk tubuh ikan melalui kontak langsung, sedangkan
sebagai patogen sekunder bakteri menginfeksi ikan yang telah terserang penyakit
lain, misalnya oleh parasit (Post, 1987).
Ikan
kerapu di alam merupakan ikan karang dengan habitat asli di daerah terumbu
karang di laut dalam yang jernih dan bersih.
Berkembangnya bakteri vibrio di suatu perairan merupakan indikator
perairan yang kurang menguntungkan bagi ikan dengan kandungan nutrien yang
tinggi (Andrews et al., 1988).
Penyakit
yang disebabkan oleh vibrio juga merupakan masalah yang sangat serius dan umum
menyerang ikan-ikan budidaya laut dan payau.
Penularannya dapat melalui air atau kontak langsung antar ikan dan
menyebar sangat cepat pada ikan-ikan yang dipelihara dengan kepadatan
tinggi. Bakteri vibrio yang menginfeksi
ikan kerapu stadia juvenil selain lemah, berwarna kusam kehitaman, dan produksi
lendir berlebihan. Pada tingkat parah,
sirip punggung dan sirip ekor gripis dengan permukaan kulit menghitam seperti
terbakar (Schubert, 1987).
Isolasi
Ulang Bakteri
Isolat LG-2802, LG-5802 dan LG-7802
dilakukan uji patogenisitas bakteri terhadap ikan kerapu sehat. Dari hasil pengamatan ternyata bakteri
LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 pada
kepadatan 108 cfu/ml dalam 24 jam setelah penyuntikan secara intra
muscular memperlihatkan gejala klinis luka kemerahan pada tempat
penyuntikan. Hasil isolasi ulang bakteri
dari organ ginjal dan luka pada lokasi penyuntikan ikan uji ternyata didapat
bakteri jenis yang sama. Adanya bakteri yang sama pada ginjal
membuktikan bahwa ginjal mempunyai fungsi retikulo-endotelial, yaitu kemampuan
suatu organ untuk menyerap bakteri dari darah, dimana akumulasi bakteri yang
diinjeksikan secara intramuskular lebih banyak ditemukan pada organ ginjal dan
limpa daripada dalam organ hati (Saeed, 1995).
Tabel 2. Karakteristik dari bakteri isolat LG-2802,
LG-5802 dan LG-7802 yang diisolasi dari borok dan sirip busuk ikan kerapu
bebek, Cromileptes altivelis, ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus, dan
ikan kerapu Lumpur, Epinephelus coioides.
Karakteristik
|
Isolat
LG-2802, LG-5802 dan LG-7802
|
Holt et al.
(1994)
|
Isolasi
ulang dari ginjal dan luka erosi
|
Pewarnaan Gram
|
-
|
-
|
-
|
Sitokrom
oksidase
|
+
|
+
|
+
|
Katalase
|
+
|
Nt
|
+
|
Cahaya
|
-
|
D
|
-
|
Gerakan
|
D
|
D
|
D
|
Pertumbuhan
pada TCBSA
|
Y
|
Y/G
|
Y
|
Pertumbuhan
pada NaCl :
|
|
|
|
|
0
%
|
-
|
-
|
-
|
|
3
%
|
+
|
+
|
+
|
|
6
%
|
+
|
+
|
+
|
|
10
%
|
-
|
Nt
|
-
|
L
– Arginin
|
-
|
D
|
-
|
L
– Lysin
|
+
|
D
|
+
|
L
– Ornithin
|
+
|
D
|
+
|
Hugh
- Leifson (O-F)
|
F
|
F
|
F
|
Peka
terhadap 150 mg
agen
vibriotik 0/129
|
S
|
S
|
S
|
Sumber : Holt et al. (1994)
D = Karakter berbeda antar spesies, Y =
Kuning, F = Fermentatif, S = Peka, Nt = Tidak diuji, G = Hijau
Sensitivitas Bakteri
terhadap Antibiotik
Pengujian dilakukan dengan menggunakan
lempeng antibiotik untuk mengetahui jenis antibiotik yang dapat digunakan
sebagai alternatif pengendalian infeksi bakteri baik melalui pakan maupun
perendaman. Tabel 3 menunjukkan bahwa
bakteri LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 sensitif terhadap antibiotik kloramfenikol
(30 mg) dan oksitetrasiklin
(30 mg) dan tahan terhadap
antibiotik ampisilin (10 mg) dan eritromisin (15 mg) yaitu dengan melihat diameter zona penghambatannya.
Daya hambat antibiotik kloramfenikol
terlihat lebih tinggi, akan tetapi untuk upaya pengendalian infeksi bakteri
vibrio tidak dapat diaplikasikan, karena antibiotik tersebut berbahaya bagi
manusia serta dapat menimbulkan resistensi terhadap bakteri. Koesharyani et al., (2001) menyatakan
bahwa pengendalian infeksi bakteri seperti penyakit finrot efektif menggunakan nifurpirinol 10,0% dengan dosis 1-2 ppm
selama 24 jam. Namun terhadap ikan
kerapu macan yang telah kehilangan sirip ekor tidak dapat disembuhkan.
Tabel 3. Sensitivitas
bakteri LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 terhadap beberapa antibiotik secara invitro
Jenis
Lempeng Antibiotik
|
Konsentrasi
|
Zona
Penghambatan
|
Eritromisin
|
15 mg
|
12 mm
|
Ampisilin
|
10 mg
|
8 mm
|
Kloramfenikol
|
30 mg
|
39 mm
|
Oksitetrasiklin
|
30 mg
|
33 mm
|
KESIMPULAN
Bakteri penyebab penyakit borok dan sirip
busuk pada ikan kerapu di dalam keramba jaring apung adalah bakteri dari genus
Vibrio sp.
SARAN
Upaya pengendalian penyakit borok dan
sirip busuk pada ikan kerapu tidak disarankan menggunakan antibiotik kloramfenikol, karena mempunyai efek
negatif pada manusia dan dapat menyebabkan bakteri menjadi resisten. Sebagai alternatif, disarankan menggunakan Nifurpirinol 10% dengan dosis 1-2 ppm
selama 24 jam.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, S.
2001. Pembesaran Ikan Kerapu
Bebek (Cromileptes altivelis) dan
Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)
di Karamba Jaring Apung. (In) Aliah et al., (Eds) Prosiding Lokakarya Nasional
Pengembangan Agribisnis Kerapu, Jakarta,
28-29 Agustus 2001. Hal. 141-148.
Andrews, C., A. Exell and N. Carrington. 1988.
The Manual of Fish Health.
Salamander Books Limited. London. New York.
208pp.
Holt, J.G., N.R. Krieg, P.H.A. Sneath, J.T. Staley and
S.T. Williams. 1994. Bergey’s Manual of Determinative
Bacteriology. Ninth Edition. Williams & Wilkins. Baltimore. USA. pp.
Johnny, F. dan D. Roza.
2002. Kejadian Penyakit pada
Budidaya Ikan Kerapu dan Upaya Pengendaliannya.
Laporan Hasil Penelitian Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut
Gondol, Bali.
14 hal.
Johnny, F., dan Prisdiminggo. 2002.
Studi Kasus Penyakit Fin Rot Pada Ikan Kerapu Macan, Epinephelus Fuscoguttatus Di Karamba
Jaring Apung Teluk Ekas, Desa Batunampar, Lombok Timur, NTB. Laporan Hasil Penelitian Balai Besar Riset
Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali. 9 hal.
Kraxberger-Beatty, T., D.J. Mc. Garey, H.J. Grier and
D.V. Lim. 1990. Vibrio
harveyi an Opportunistic Pathogen of Common Snook, Centropomus undecimalis (Bloch), Held in Captivity. Journal Fish Diseases. 13:557-560.
Koesharyani, I.
and Zafran. 1997.
Studi Tentang Penyakit Bacterial Pada Ikan Kerapu. Jur. Pen. Perikanan Indonesia. III(4):35-39.
Koesharyani, I., D. Roza, K. Mahardika,
F. Johnny, Zafran and K. Yuasa. 2001.
Marine Fish and Crustaceans Diseases in Indonesia In Manual for Fish Diseases Diagnosis II (Ed. by K. Sugama, K. Hatai and T. Nakai). 49 p. Gondol Research
Station for Coastal Fisheries, CRIFI and Japan International Cooperation
Agency.
Muroga, K., Gilda Lio-Po, C. Pitogo and R. Imada. 1984. Vibrio sp. isolated from Milkfish (Chanos chanos) With Opaque Eyes. Fish Pathology. 19(2):81-87.
Post, G. 1987. Texbook of Fish Health. T.F.H. Publications
Inc. USA.
288 pp.
Saeed, O.
1995. Association of Vibrio harveyi With Mortalities in
Cultured Marine Fish in Kuwait. Aquaculture.
136:21-29.
Schubert, G. 1987. Fish Diseases a Complete Introduction. T.F.H.
Publications Inc. USA.
125 pp.
Subiyanto, I. Adisuko, S. Anwar, N. Yustiningsih, S.
Prayitno, dan P. Sumardika. 2001. Pengkajian dan Pengembangan Usaha Budidaya
Ikan Kerapu Nasional. (In)
Aliah et al., (Eds)
Prosiding Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu, Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Hal. 61-67.
Wijayati, A. dan I.S. Djunaidah. 2001.
Identifikasi Patogen Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Pada Berbagai Stadia Pemeliharaan. (In)
Aliah et al., (Eds)
Prosiding Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu, Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Hal. 81-88.
Zafran, D. Roza, I. Koesharyani, F.
Johnny and K. Yuasa. 1998. Marine Fish
and Crustaceans Diseases in Indonesia
In Manual for Fish Diseases Diagnosis
(Ed. by K. Sugama, H. Ikenoue and K.
Hatai). 44 p. Gondol Research Station for Coastal Fisheries, CRIFI and Japan
International Cooperation Agency.