Monday 12 November 2012

Jersey Baru Timnas Indonesia di piala AFF 2012

            Nike pada Senin (12/11) ini merilis seragam baru tim nasional Indonesia untuk turnamen AFF Suzuki Cup 2012 yang akan dihelat pada 24 November sampai 22 Desember mendatang.
Sesuai dengan komitmen Nike dalam menyatukan visi untuk selalu mengedepankan performa atlet serta memberikan dampak amat minim bagi lingkungan, bahan untuk celana seragam terbaru ini terbuat dari 100 persen polyester daur ulang, sedangkan bahan untuk kausnya terbuat dari setidaknya 96% polyester daur ulang.
Materi untuk sepasang jersey sendiri dihasilkan dari 13 botol plastik yang telah didaur ulang.
Seragam ini dikonstruksi menggunakan teknologi Nike Dri-FIT guna menghalau kelembaban, serta dibuat dengan bahan yang 23 persen lebih ringan serta 20 persen struktur jahitan yang lebih kuat dibandingkan seragam sebelumnya. Kaus jersey pun menampilkan lubang ventilasi yang dibuat dengan menggunakan laser untuk mendukung pendinginan di area tertentu, sehingga dapat membantu pemain mempertahankan suhu tubuh selama pertandingan.
Seperti biasanya, warna merah mendominasi seragam utama skuat Garuda, dan terdapat pula elemen khas warna hijau yang di bagian lengan bawah kaus, yang terinspirasi dari seragam timnas tahun 1950-an.
Lambang Garuda tersemat di bagian dada kiri, dan di bagian dalam punggung seragam tertera tulisan Bhineka Tunggal Ika alias ‘kesatuan dalam keragaman’ yang berfungsi sebagai inspirasi untuk tim.
“Nike Indonesia merasa sangat bangga bisa menjadi bagian dari momentum penting dalam dunia sepakbola negara Indonesia. Komitmen Nike memang selalu untuk membantu para atlet mencapai performa terbaik mereka dengan inovasi teknologi terbaik yang kita miliki,” tutur Country Marketing Manager Nike Indonesia, Nino Priambodo.
“Nike menyadari bahwa meluncurkan seragam terbaru Timnas Indonesia ini bukan sekadar tentang menampilkan produk, tapi juga ketika yang mengenakannya baik atlet maupun para pencinta sepakbola, seragam ini akan berbicara tentang rasa kebangsaan, kebanggaan, serta semangat juang untuk tidak penah berhenti berharap sepakbola Indonesia bisa mencapai kejayaan kembali,” imbuhnya.
“PSSI merasa bangga bisa meluncurkan seragam tim Garuda Indonesia yang terbaru ini berkat dukungan dari Nike. Menyadari beratnya tugas para atlet tim sepakbola nasional kita, untuk memenangkan piala Suzuki AFF 2012, dan mengharumkan nama bangsa, PSSI selalu berusaha menyediakan yang terbaik bagi mereka, dan seragam tentunya memegang peranan yang penting terutama untuk menampilkan semangat kebangsaan kita” timpal Halim Mahfudz, Sekretaris Jenderal PSSI.


Monday 5 November 2012

PENYAKIT INFEKSI BAKTERI PADA IKAN KERAPU



DI KERAMBA JARING APUNG TELUK EKAS,
KABUPATEN LOMBOK TIMUR, NUSA TENGGARA BARAT
Fris Johnny 1, Prisdiminggo2 dan Des Roza1
1Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali PO BOX 140, Singaraja 81101, Bali
2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, NTB PO BOX 1017 Mataram 87010 Mataram
ABSTRACT
The groupers cultured on net cages as develop at Ekas Bay, Kabupaten Lombok Timur, NTB by Institute Research Technology for Agriculture, NTB.  Groupers culture as humpback grouper, Cromileptes altivelis, tiger grouper, Epinephelus fuscoguttatus, and orangespotted grouper, Epinephelus coioides.  Groupers showed clinical signs furuncles or hemorrhagic ulcers on body surface and the lesions develop to erosion with hemorrhages on fin.  An experiment was aimed to isolate and characterize bacteria from infected groupers. Bacteria isolate from ulcers and finrot of diseased fish grew well at Thiosulphate Citrate Bile Salt Sucrose Agar (TCBSA) giving yellow colony.  The bacteria was identified as Vibrio sp.
Keywords :  bacterial diseases, groupers, net cage, Ekas Bay
ABSTRAK
Budidaya ikan kerapu di dalam keramba jaring apung (KJA) telah dikembangkan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, NTB di Teluk Ekas, Kabupaten Lombok Timur, NTB.  Ikan kerapu yang telah dibudidayakan adalah jenis ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus,dan ikan kerapu lumpur, Epinephelus coioides.  Pada budidaya ikan kerapu  tersebut ditemukan ikan sakit dengan gejala klinis borok pada bagian tubuh dan sirip busuk.  Dari gejala klinis tersebut diduga ikan kerapu terserang penyakit infeksi bakteri.  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis bakteri penyebab penyakit pada ikan kerapu budidaya.  Di Laboratorium Patologi Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali, ikan kerapu bebek, ikan kerapu macan dan ikan kerapu lumpur yang sakit telah diisolasi isolat bakteri dari borok dan sirip yang busuk.  Isolat tersebut dapat tumbuh baik pada media  “thiosulphate citrate bile salt sucrose agar” (TCBSA) dengan warna koloni kuning  Bakteri ini diklasifikasikan ke dalam genus Vibrio sp. 
Kata kunci  :  penyakit infeksi, bakteri, ikan kerapu, keramba jaring apung, Teluk Ekas
PENDAHULUAN
Budidaya ikan kerapu pada  beberapa lokasi di Indonesia sudah semakin berkembang, terutama budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung (KJA).  Hal ini disebabkan karena semakin tersedianya benih secara teratur, baik dalam jumlah maupun ukuran.  Panti benih di Gondol, Bali bagian utara telah semakin berkembang dan mampu menjamin pasokan benih.  Tadinya benih ikan kerapu sangat mengandalkan pasokan alam yang jumlahnya sangat terbatas dan waktu pasok yang tidak menentu.   Karena itu pemerintah mendorong segala upaya yang mengarah kepada kegiatan budidaya ikan kerapu khususnya melalui jaring apung di laut  (Subiyanto et al., 2001).
Usaha budidaya laut merupakan salah satu usaha yang dapat memberikan alternatif sumber penghasilan untuk meningkatkan pendapatan bagi nelayan.  Apabila usaha budidaya berkembang, maka produksi dapat ditingkatkan baik jumlah maupun mutunya.  Dampak lebih lanjut dari usaha ini adalah kesejahteraan masyarakat nelayan mengalami peningkatan (Akbar, 2001).         
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, NTB telah mencoba mengembangkan keramba jaring apung di Teluk Ekas, Desa Batunampar, Lombok Timur, NTB.  Usaha budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung yang dikembangkan adalah jenis kerapu bebek (Cromileptes altivelis), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), dan kerapu lumpur (Epinephelus coioides).  Pengembangan usaha budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung mempunyai kelebihan antara lain rendahnya biaya operasional dibandingkan dengan nilai ekonomi yang dihasilkan serta teknologi budidayanya yang sederhana dan mudah diadaptasikan di masyarakat petani nelayan secara luas.
Permasalahan yang timbul pada budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung adalah terjadinya penyakit.  Salah satu penyakit yang ditemukan pada ikan kerapu adalah penyakit infeksi bakteri dengan gejala klinis adanya borok pada bagian tubuh, dan sirip yang busuk (Koesharyani & Zafran, 1997; Zafran et al., 1998; Koesharyani et al., 2001; Wijayati & Djunaidah, 2001; Johnny & Roza, 2002; Johnny & Prisdiminggo, 2002).
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri yang menginfeksi ikan kerapu di keramba jaring apung.
METODE
Ikan Uji
Dari keramba jaring apung dikoleksi ikan uji dari ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus, dan ikan kerapu lumpur. Epinephelus coioides.  Ikan uji yang digunakan adalah dari kelompok ikan yeng terlihat sakit dengan memperlihatkan gejala klinis.  Setiap ikan uji dari masing-masing kelompok diamati gejala klinis yang terlihat, seperti perubahan warna kulit, luka-luka erosi disertai pendarahan, dan pembusukan pada sirip. 
Isolasi dan Identifikasi Bakteri
Koleksi isolat bakteri diambil dari borok pada bagian tubuh ikan kerapu, dan bagian sirip yang busuk.  Isolasi dilakukan pada media penumbuhtryptone soya agar” (TSA), media “thiosulphate citrate bile salt sucrose agar” (TCBSA), kemudian diinkubasi  pada suhu 25-280C selama 24-48 jam.  Pemurnian terhadap bakteri yang tumbuh dominan pada media TSA dan TCBSA dilakukan dengan menggunakan media “marine agar” (MA).  Hasil pemurnian bakteri ini selanjutnya digunakan sebagai bahan uji.  Identifikasi isolat bakteri dilakukan berdasarkan acuan  (Holt et al., 1994).
Isolasi Ulang Bakteri
Isolat bakteri uji dibiakkan dalam media MA yang diinkubasikan selama 24-48 jam pada suhu 260C, kemudian dipanen menggunakan air laut steril.  Kepadatan bakteri 108 cfu/mL ditentukan berdasarkan McFarland “equivalence turbidity standard 1.0” setara dengan kepadatan bakteri   108 cfu/mL.  Selanjutnya isolat bakteri tersebut digunakan sebagai bahan infeksi buatan dengan cara menyuntikkan intraperitoneal  sebanyak 0,1 mL/individu.  Ikan kontrol disuntik menggunakan NaCl fisiologis dengan dosis yang sama.  Ikan uji yang digunakan adalah juvenil ikan kerapu bebek, ikan kerapu macan, dan ikan kerapu lumpur,  bobot antara  8-19 gram, panjang total antara 5-9 cm masing-masing 10 ekor untuk setiap kelompok.  Pengamatan dilakukan terhadap gejala klinis dan mortalitas ikan uji, dan melakukan isolasi ulang bakteri dari organ ginjal dan luka erosi.
Uji Sensitivitas terhadap Antibiotik
Dari isolat bakteri yang diperoleh dilakukan uji sensitivitas  terhadap antibiotik dilakukan secara in-vitro.  Bakteri uji dioleskan secara merata pada lempengan media agar, selanjutnya pada bagian permukaan diletakkan lempeng antibiotik yang sudah mengandung antibiotik yang akan diuji, yaitu eritromisin (15 mg), ampisilin (10 mg), klorampenikol (30 mg), dan oksitetrasiklin (30 mg), produksi Oxoid Unipath Limited, Besingstoke, Hampshire, UK.  Kemudian diinkubasikan pada suhu 26 0C selama 24 jam.  Tingkat sensitivitas ditentukan melalui pengukuran zona penghambatan yang diakibatkan oleh masing-masing antibiotik uji.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi dan Identifikasi Bakteri
Isolat bakteri dominan diisolasi dari luka erosi atau borok dan sirip busuk pada ikan kerapu bebek, ikan kerapu macan, dan ikan kerapu lumpur yang sakit, berasal dari keramba jaring apung di daerah Teluk Ekas, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.    Dari isolat dominan yang diperoleh selanjutnya diberi kode LG-1802, LG-2802, LG-3802, LG-4802, LG-5802, LG-6802, dan LG-7802, selanjutnya digunakan dalam penelitian ini (Tabel 1).

Tabel 1.  Pertumbuhan bakteri yang diisolasi dari borok dan sirip busuk pada media tumbuh bakteri
Organ
Media bakteri
TSA
TCBSA
Borok
+
+
Sirip busuk
+
+
Tabel 1,  menunjukkan bahwa isolat bakteri yang dimurnikan pada media MA adalah isolat yang tumbuh pada media TSA dan TCBSA. Pada media TSA  hampir semua jenis bakteri tumbuh dan tidak spesifik untuk satu bakteri.  Sedangkan pada media TCBSA bakteri yang tumbuh adalah spesifik untuk bakteri dari genus vibrio. 

Dengan berpedoman kepada Holt et al. (1994) isolat bakteri LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 diidentifikasikan sebagai genus vibrio.  Tabel 2 menunjukkan karakter dari isolat tersebut antara lain gram negatif, sitokrom oksidase positif, dan sensitif terhadap agen vibrio statik 0/129 150 mg.  Bakteri vibrio dapat bersifat patogen terhadap ikan, seperti Vibrio harveyi yang ditemukan sebagai penyebab penyakit mata pada ikan bandeng, Chanos chanos di Filipina (Muroga et al., 1984), kasus infeksi mata ikan common snook, Centropomus undecemalis (Kraxberger et al., 1990). 
Gambar 1.  Penyakit borok pada ikan kerapu
Di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali kasus penyakit borok  pada ikan kerapu merupakan salah satu penyakit penting pada budidaya ikan kerapu di dalam keramba jaring apung. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian masal seperti halnya infeksi iridovirus.  Sampai sekarang penyakit ini ditemukan pada calon induk kerapu lumpur dan fingerling kerapu macan.  Pada fingerling kerapu macan, penyakit ini terjadi 1 minggu setelah ikan dipelihara di dalam keramba jaring apung.  Mortalitas dari masing-masing kasus dapat mencapai 10-20% meskipun telah diterapi dengan antibiotik.  Pada kasus penyakit borok pada ikan kerapu (Gambar 1), ikan yang mengalami kematian secara akut memperlihatkan beberapa gejala eksternal, sedangkan pada kasus kronis terlihat pembengkakan atau luka-luka kemerahan yang merupakan ciri khas yang dapat diamati pada permukaan tubuh.  Bakteri penyebab infeksi ini termasuk ke dalam genus Vibrio dan di Gondol telah diidentifikasi sebagai Vibrio alginolyticus  (Koesharyani et al., 2001).
Gambar 2.  Penyakit sirip busuk pada ikan kerapu

 

Kasus penyakit sirip busuk pada ikan kerapu, penyebab utama adalah jenis bakteri Flexibacter yang menyerang ikan kerapu bebek.  Pada ikan kerapu bebek yang dibudidayakan di panti benih sering ditemukan adanya sirip busuk dengan luka kemerahan (Gambar 2).  Dari luka-luka ini, satu jenis bakteri telah diisolasi dan diidentifikasikan sebagai bakteri Flexibacter maritimus.  Meskipun bakteri ini bukan penyebab dari sistemik septikemia, jika pengobatan tidak dilakukan, maka kondisi ikan akan semakin buruk dengan infeksi sekunder oleh vibrio (Koesharyani et al., 2001; Johnny & Roza, 2002; Johnny & Prisdiminggo, 2002).  
Dalam percobaan ini bakteri Flexibacter maritimus sebagai infeksi primer tidak dapat diisolasi dan diidentifikasi, diduga bakteri vibrio sebagai infeksi sekunder sudah sangat dominan.  Kasus sirip busuk  pada ikan kerapu menunjukkan bakteri vibrio hanya berperan dalam infeksi sekunder yang dapat timbul setiap waktu tergantung pada faktor lingkungan serta faktor lainnya (Saeed, 1995).
Bakteri vibrio diketahui sebagai bakteri oportunistik dan merupakan bakteri yang sangat ganas dan berbahaya pada budidaya ikan kerapu karena dapat bertindak sebagai patogen primer dan sekunder.  Sebagai patogen primer bakteri masuk tubuh ikan melalui kontak langsung, sedangkan sebagai patogen sekunder bakteri menginfeksi ikan yang telah terserang penyakit lain, misalnya oleh parasit (Post, 1987). 
Ikan kerapu di alam merupakan ikan karang dengan habitat asli di daerah terumbu karang di laut dalam yang jernih dan bersih.  Berkembangnya bakteri vibrio di suatu perairan merupakan indikator perairan yang kurang menguntungkan bagi ikan dengan kandungan nutrien yang tinggi (Andrews et al., 1988).
Penyakit yang disebabkan oleh vibrio juga merupakan masalah yang sangat serius dan umum menyerang ikan-ikan budidaya laut dan payau.  Penularannya dapat melalui air atau kontak langsung antar ikan dan menyebar sangat cepat pada ikan-ikan yang dipelihara dengan kepadatan tinggi.   Bakteri vibrio yang menginfeksi ikan kerapu stadia juvenil selain lemah, berwarna kusam kehitaman, dan produksi lendir berlebihan.  Pada tingkat parah, sirip punggung dan sirip ekor gripis dengan permukaan kulit menghitam seperti terbakar (Schubert, 1987).
Isolasi Ulang Bakteri
Isolat LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 dilakukan uji patogenisitas bakteri terhadap ikan kerapu sehat.  Dari hasil pengamatan ternyata bakteri LG-2802, LG-5802 dan LG-7802  pada kepadatan 108 cfu/ml dalam 24 jam setelah penyuntikan secara intra muscular memperlihatkan gejala klinis luka kemerahan pada tempat penyuntikan.  Hasil isolasi ulang bakteri dari organ ginjal dan luka pada lokasi penyuntikan ikan uji ternyata didapat bakteri  jenis yang sama.  Adanya bakteri yang sama pada ginjal membuktikan bahwa ginjal mempunyai fungsi retikulo-endotelial, yaitu kemampuan suatu organ untuk menyerap bakteri dari darah, dimana akumulasi bakteri yang diinjeksikan secara intramuskular lebih banyak ditemukan pada organ ginjal dan limpa daripada dalam organ hati (Saeed, 1995).  
Tabel 2.   Karakteristik dari bakteri isolat LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 yang diisolasi dari borok dan sirip busuk ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus, dan ikan kerapu Lumpur, Epinephelus coioides. 
Karakteristik
Isolat LG-2802, LG-5802 dan LG-7802
Holt et al.
(1994)
Isolasi ulang dari ginjal dan luka erosi
Pewarnaan Gram
-
-
-
Sitokrom oksidase
+
+
+
Katalase
+
Nt
+
Cahaya
-
D
-
Gerakan
D
D
D
Pertumbuhan pada TCBSA
Y
Y/G
Y
Pertumbuhan pada NaCl :




0 %
-
-
-

3 %
+
+
+

6 %
+
+
+

10 %
-
Nt
-
L – Arginin
-
D
-
L – Lysin
+
D
+
L – Ornithin
+
D
+
Hugh - Leifson (O-F)
F
F
F
Peka terhadap 150 mg
agen vibriotik 0/129
S

S

S

Sumber :  Holt et al. (1994)
D = Karakter berbeda antar spesies, Y = Kuning, F = Fermentatif, S = Peka, Nt = Tidak diuji, G = Hijau

Sensitivitas Bakteri terhadap Antibiotik
Pengujian dilakukan dengan menggunakan lempeng antibiotik untuk mengetahui jenis antibiotik yang dapat digunakan sebagai alternatif pengendalian infeksi bakteri baik melalui pakan maupun perendaman.  Tabel 3 menunjukkan bahwa bakteri LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 sensitif terhadap antibiotik kloramfenikol (30 mg) dan oksitetrasiklin (30 mg) dan tahan terhadap antibiotik ampisilin (10 mg) dan eritromisin (15 mg) yaitu dengan melihat diameter zona penghambatannya. 
Daya hambat antibiotik kloramfenikol terlihat lebih tinggi, akan tetapi untuk upaya pengendalian infeksi bakteri vibrio tidak dapat diaplikasikan, karena antibiotik tersebut berbahaya bagi manusia serta dapat menimbulkan resistensi terhadap bakteri.  Koesharyani et al., (2001)  menyatakan bahwa pengendalian infeksi bakteri seperti penyakit finrot efektif menggunakan nifurpirinol 10,0% dengan dosis 1-2 ppm selama 24 jam.  Namun terhadap ikan kerapu macan yang telah kehilangan sirip ekor tidak dapat disembuhkan.
Tabel 3. Sensitivitas bakteri LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 terhadap beberapa antibiotik  secara invitro
Jenis Lempeng Antibiotik
Konsentrasi
Zona Penghambatan
Eritromisin
15 mg
12 mm
Ampisilin
10 mg
8 mm
Kloramfenikol
30 mg
39 mm
Oksitetrasiklin
30 mg
33 mm
KESIMPULAN
Bakteri penyebab penyakit borok dan sirip busuk pada ikan kerapu di dalam keramba jaring apung adalah bakteri dari genus Vibrio sp. 
SARAN
Upaya pengendalian penyakit borok dan sirip busuk pada ikan kerapu tidak disarankan menggunakan antibiotik kloramfenikol, karena mempunyai efek negatif pada manusia dan dapat menyebabkan bakteri menjadi resisten.  Sebagai alternatif, disarankan menggunakan Nifurpirinol 10% dengan dosis 1-2 ppm selama 24 jam.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, S.  2001.  Pembesaran Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) dan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) di Karamba Jaring Apung. (In) Aliah et al.,  (Eds) Prosiding Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu, Jakarta, 28-29 Agustus 2001.  Hal. 141-148.
Andrews, C., A. Exell and N. Carrington.  1988.  The Manual of Fish Health.  Salamander Books Limited.  London. New York.  208pp.
Holt, J.G., N.R. Krieg, P.H.A. Sneath, J.T. Staley and S.T. Williams.  1994.  Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology.  Ninth Edition.  Williams & Wilkins.  BaltimoreUSA.  pp.
Johnny, F. dan D. Roza.  2002.  Kejadian Penyakit pada Budidaya Ikan Kerapu dan Upaya Pengendaliannya.  Laporan Hasil Penelitian Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali.  14 hal.
Johnny, F., dan Prisdiminggo.  2002.  Studi Kasus Penyakit Fin Rot Pada Ikan Kerapu Macan, Epinephelus Fuscoguttatus Di Karamba Jaring Apung Teluk Ekas, Desa Batunampar, Lombok Timur, NTB.  Laporan Hasil Penelitian Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali.  9 hal.
Kraxberger-Beatty, T., D.J. Mc. Garey, H.J. Grier and D.V. Lim.  1990.  Vibrio harveyi an Opportunistic Pathogen of Common Snook, Centropomus undecimalis (Bloch), Held in Captivity.  Journal Fish Diseases.  13:557-560.
Koesharyani, I. and  Zafran.  1997.  Studi Tentang Penyakit Bacterial Pada Ikan Kerapu.  Jur. Pen. Perikanan Indonesia.  III(4):35-39.
Koesharyani, I., D. Roza, K. Mahardika, F. Johnny, Zafran and K. Yuasa. 2001.  Marine Fish and Crustaceans Diseases in Indonesia In Manual for Fish Diseases Diagnosis II (Ed. by K. Sugama, K. Hatai and T. Nakai). 49 p. Gondol Research Station for Coastal Fisheries, CRIFI and Japan International Cooperation Agency.
Muroga, K., Gilda Lio-Po, C. Pitogo and R. Imada.  1984.  Vibrio sp. isolated from Milkfish (Chanos chanos) With Opaque Eyes.  Fish Pathology.  19(2):81-87.
Post, G. 1987.  Texbook of Fish Health. T.F.H. Publications Inc. USA. 288 pp.
Saeed, O.  1995.  Association of Vibrio harveyi With Mortalities in Cultured Marine Fish in Kuwait.  Aquaculture.  136:21-29.
Schubert, G. 1987.  Fish Diseases a Complete Introduction. T.F.H. Publications Inc. USA. 125 pp.
Subiyanto, I. Adisuko, S. Anwar, N. Yustiningsih, S. Prayitno, dan P. Sumardika.  2001.  Pengkajian dan Pengembangan Usaha Budidaya Ikan Kerapu Nasional.  (In) Aliah et al.,  (Eds) Prosiding Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu, Jakarta, 28-29 Agustus 2001.  Hal. 61-67.
Wijayati, A. dan I.S. Djunaidah.  2001.  Identifikasi Patogen Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Pada Berbagai Stadia Pemeliharaan. (In) Aliah et al.,  (Eds) Prosiding Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu, Jakarta, 28-29 Agustus 2001.  Hal. 81-88.
Zafran, D. Roza, I. Koesharyani, F. Johnny and K. Yuasa. 1998.  Marine Fish and Crustaceans Diseases in Indonesia In Manual for Fish Diseases Diagnosis (Ed. by K. Sugama, H. Ikenoue and K. Hatai). 44 p. Gondol Research Station for Coastal Fisheries, CRIFI and Japan International Cooperation Agency.

PENYAKIT INFEKSI BAKTERI PADA IKAN KERAPU



DI KERAMBA JARING APUNG TELUK EKAS,
KABUPATEN LOMBOK TIMUR, NUSA TENGGARA BARAT
Fris Johnny 1, Prisdiminggo2 dan Des Roza1
1Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali PO BOX 140, Singaraja 81101, Bali
2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, NTB PO BOX 1017 Mataram 87010 Mataram
ABSTRACT
The groupers cultured on net cages as develop at Ekas Bay, Kabupaten Lombok Timur, NTB by Institute Research Technology for Agriculture, NTB.  Groupers culture as humpback grouper, Cromileptes altivelis, tiger grouper, Epinephelus fuscoguttatus, and orangespotted grouper, Epinephelus coioides.  Groupers showed clinical signs furuncles or hemorrhagic ulcers on body surface and the lesions develop to erosion with hemorrhages on fin.  An experiment was aimed to isolate and characterize bacteria from infected groupers. Bacteria isolate from ulcers and finrot of diseased fish grew well at Thiosulphate Citrate Bile Salt Sucrose Agar (TCBSA) giving yellow colony.  The bacteria was identified as Vibrio sp.
Keywords :  bacterial diseases, groupers, net cage, Ekas Bay
ABSTRAK
Budidaya ikan kerapu di dalam keramba jaring apung (KJA) telah dikembangkan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, NTB di Teluk Ekas, Kabupaten Lombok Timur, NTB.  Ikan kerapu yang telah dibudidayakan adalah jenis ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus,dan ikan kerapu lumpur, Epinephelus coioides.  Pada budidaya ikan kerapu  tersebut ditemukan ikan sakit dengan gejala klinis borok pada bagian tubuh dan sirip busuk.  Dari gejala klinis tersebut diduga ikan kerapu terserang penyakit infeksi bakteri.  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis bakteri penyebab penyakit pada ikan kerapu budidaya.  Di Laboratorium Patologi Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali, ikan kerapu bebek, ikan kerapu macan dan ikan kerapu lumpur yang sakit telah diisolasi isolat bakteri dari borok dan sirip yang busuk.  Isolat tersebut dapat tumbuh baik pada media  “thiosulphate citrate bile salt sucrose agar” (TCBSA) dengan warna koloni kuning  Bakteri ini diklasifikasikan ke dalam genus Vibrio sp. 
Kata kunci  :  penyakit infeksi, bakteri, ikan kerapu, keramba jaring apung, Teluk Ekas
PENDAHULUAN
Budidaya ikan kerapu pada  beberapa lokasi di Indonesia sudah semakin berkembang, terutama budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung (KJA).  Hal ini disebabkan karena semakin tersedianya benih secara teratur, baik dalam jumlah maupun ukuran.  Panti benih di Gondol, Bali bagian utara telah semakin berkembang dan mampu menjamin pasokan benih.  Tadinya benih ikan kerapu sangat mengandalkan pasokan alam yang jumlahnya sangat terbatas dan waktu pasok yang tidak menentu.   Karena itu pemerintah mendorong segala upaya yang mengarah kepada kegiatan budidaya ikan kerapu khususnya melalui jaring apung di laut  (Subiyanto et al., 2001).
Usaha budidaya laut merupakan salah satu usaha yang dapat memberikan alternatif sumber penghasilan untuk meningkatkan pendapatan bagi nelayan.  Apabila usaha budidaya berkembang, maka produksi dapat ditingkatkan baik jumlah maupun mutunya.  Dampak lebih lanjut dari usaha ini adalah kesejahteraan masyarakat nelayan mengalami peningkatan (Akbar, 2001).         
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, NTB telah mencoba mengembangkan keramba jaring apung di Teluk Ekas, Desa Batunampar, Lombok Timur, NTB.  Usaha budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung yang dikembangkan adalah jenis kerapu bebek (Cromileptes altivelis), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), dan kerapu lumpur (Epinephelus coioides).  Pengembangan usaha budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung mempunyai kelebihan antara lain rendahnya biaya operasional dibandingkan dengan nilai ekonomi yang dihasilkan serta teknologi budidayanya yang sederhana dan mudah diadaptasikan di masyarakat petani nelayan secara luas.
Permasalahan yang timbul pada budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung adalah terjadinya penyakit.  Salah satu penyakit yang ditemukan pada ikan kerapu adalah penyakit infeksi bakteri dengan gejala klinis adanya borok pada bagian tubuh, dan sirip yang busuk (Koesharyani & Zafran, 1997; Zafran et al., 1998; Koesharyani et al., 2001; Wijayati & Djunaidah, 2001; Johnny & Roza, 2002; Johnny & Prisdiminggo, 2002).
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri yang menginfeksi ikan kerapu di keramba jaring apung.
METODE
Ikan Uji
Dari keramba jaring apung dikoleksi ikan uji dari ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus, dan ikan kerapu lumpur. Epinephelus coioides.  Ikan uji yang digunakan adalah dari kelompok ikan yeng terlihat sakit dengan memperlihatkan gejala klinis.  Setiap ikan uji dari masing-masing kelompok diamati gejala klinis yang terlihat, seperti perubahan warna kulit, luka-luka erosi disertai pendarahan, dan pembusukan pada sirip. 
Isolasi dan Identifikasi Bakteri
Koleksi isolat bakteri diambil dari borok pada bagian tubuh ikan kerapu, dan bagian sirip yang busuk.  Isolasi dilakukan pada media penumbuhtryptone soya agar” (TSA), media “thiosulphate citrate bile salt sucrose agar” (TCBSA), kemudian diinkubasi  pada suhu 25-280C selama 24-48 jam.  Pemurnian terhadap bakteri yang tumbuh dominan pada media TSA dan TCBSA dilakukan dengan menggunakan media “marine agar” (MA).  Hasil pemurnian bakteri ini selanjutnya digunakan sebagai bahan uji.  Identifikasi isolat bakteri dilakukan berdasarkan acuan  (Holt et al., 1994).
Isolasi Ulang Bakteri
Isolat bakteri uji dibiakkan dalam media MA yang diinkubasikan selama 24-48 jam pada suhu 260C, kemudian dipanen menggunakan air laut steril.  Kepadatan bakteri 108 cfu/mL ditentukan berdasarkan McFarland “equivalence turbidity standard 1.0” setara dengan kepadatan bakteri   108 cfu/mL.  Selanjutnya isolat bakteri tersebut digunakan sebagai bahan infeksi buatan dengan cara menyuntikkan intraperitoneal  sebanyak 0,1 mL/individu.  Ikan kontrol disuntik menggunakan NaCl fisiologis dengan dosis yang sama.  Ikan uji yang digunakan adalah juvenil ikan kerapu bebek, ikan kerapu macan, dan ikan kerapu lumpur,  bobot antara  8-19 gram, panjang total antara 5-9 cm masing-masing 10 ekor untuk setiap kelompok.  Pengamatan dilakukan terhadap gejala klinis dan mortalitas ikan uji, dan melakukan isolasi ulang bakteri dari organ ginjal dan luka erosi.
Uji Sensitivitas terhadap Antibiotik
Dari isolat bakteri yang diperoleh dilakukan uji sensitivitas  terhadap antibiotik dilakukan secara in-vitro.  Bakteri uji dioleskan secara merata pada lempengan media agar, selanjutnya pada bagian permukaan diletakkan lempeng antibiotik yang sudah mengandung antibiotik yang akan diuji, yaitu eritromisin (15 mg), ampisilin (10 mg), klorampenikol (30 mg), dan oksitetrasiklin (30 mg), produksi Oxoid Unipath Limited, Besingstoke, Hampshire, UK.  Kemudian diinkubasikan pada suhu 26 0C selama 24 jam.  Tingkat sensitivitas ditentukan melalui pengukuran zona penghambatan yang diakibatkan oleh masing-masing antibiotik uji.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi dan Identifikasi Bakteri
Isolat bakteri dominan diisolasi dari luka erosi atau borok dan sirip busuk pada ikan kerapu bebek, ikan kerapu macan, dan ikan kerapu lumpur yang sakit, berasal dari keramba jaring apung di daerah Teluk Ekas, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.    Dari isolat dominan yang diperoleh selanjutnya diberi kode LG-1802, LG-2802, LG-3802, LG-4802, LG-5802, LG-6802, dan LG-7802, selanjutnya digunakan dalam penelitian ini (Tabel 1).

Tabel 1.  Pertumbuhan bakteri yang diisolasi dari borok dan sirip busuk pada media tumbuh bakteri
Organ
Media bakteri
TSA
TCBSA
Borok
+
+
Sirip busuk
+
+
Tabel 1,  menunjukkan bahwa isolat bakteri yang dimurnikan pada media MA adalah isolat yang tumbuh pada media TSA dan TCBSA. Pada media TSA  hampir semua jenis bakteri tumbuh dan tidak spesifik untuk satu bakteri.  Sedangkan pada media TCBSA bakteri yang tumbuh adalah spesifik untuk bakteri dari genus vibrio. 

Dengan berpedoman kepada Holt et al. (1994) isolat bakteri LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 diidentifikasikan sebagai genus vibrio.  Tabel 2 menunjukkan karakter dari isolat tersebut antara lain gram negatif, sitokrom oksidase positif, dan sensitif terhadap agen vibrio statik 0/129 150 mg.  Bakteri vibrio dapat bersifat patogen terhadap ikan, seperti Vibrio harveyi yang ditemukan sebagai penyebab penyakit mata pada ikan bandeng, Chanos chanos di Filipina (Muroga et al., 1984), kasus infeksi mata ikan common snook, Centropomus undecemalis (Kraxberger et al., 1990). 
Gambar 1.  Penyakit borok pada ikan kerapu
Di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali kasus penyakit borok  pada ikan kerapu merupakan salah satu penyakit penting pada budidaya ikan kerapu di dalam keramba jaring apung. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian masal seperti halnya infeksi iridovirus.  Sampai sekarang penyakit ini ditemukan pada calon induk kerapu lumpur dan fingerling kerapu macan.  Pada fingerling kerapu macan, penyakit ini terjadi 1 minggu setelah ikan dipelihara di dalam keramba jaring apung.  Mortalitas dari masing-masing kasus dapat mencapai 10-20% meskipun telah diterapi dengan antibiotik.  Pada kasus penyakit borok pada ikan kerapu (Gambar 1), ikan yang mengalami kematian secara akut memperlihatkan beberapa gejala eksternal, sedangkan pada kasus kronis terlihat pembengkakan atau luka-luka kemerahan yang merupakan ciri khas yang dapat diamati pada permukaan tubuh.  Bakteri penyebab infeksi ini termasuk ke dalam genus Vibrio dan di Gondol telah diidentifikasi sebagai Vibrio alginolyticus  (Koesharyani et al., 2001).
Gambar 2.  Penyakit sirip busuk pada ikan kerapu

 

Kasus penyakit sirip busuk pada ikan kerapu, penyebab utama adalah jenis bakteri Flexibacter yang menyerang ikan kerapu bebek.  Pada ikan kerapu bebek yang dibudidayakan di panti benih sering ditemukan adanya sirip busuk dengan luka kemerahan (Gambar 2).  Dari luka-luka ini, satu jenis bakteri telah diisolasi dan diidentifikasikan sebagai bakteri Flexibacter maritimus.  Meskipun bakteri ini bukan penyebab dari sistemik septikemia, jika pengobatan tidak dilakukan, maka kondisi ikan akan semakin buruk dengan infeksi sekunder oleh vibrio (Koesharyani et al., 2001; Johnny & Roza, 2002; Johnny & Prisdiminggo, 2002).  
Dalam percobaan ini bakteri Flexibacter maritimus sebagai infeksi primer tidak dapat diisolasi dan diidentifikasi, diduga bakteri vibrio sebagai infeksi sekunder sudah sangat dominan.  Kasus sirip busuk  pada ikan kerapu menunjukkan bakteri vibrio hanya berperan dalam infeksi sekunder yang dapat timbul setiap waktu tergantung pada faktor lingkungan serta faktor lainnya (Saeed, 1995).
Bakteri vibrio diketahui sebagai bakteri oportunistik dan merupakan bakteri yang sangat ganas dan berbahaya pada budidaya ikan kerapu karena dapat bertindak sebagai patogen primer dan sekunder.  Sebagai patogen primer bakteri masuk tubuh ikan melalui kontak langsung, sedangkan sebagai patogen sekunder bakteri menginfeksi ikan yang telah terserang penyakit lain, misalnya oleh parasit (Post, 1987). 
Ikan kerapu di alam merupakan ikan karang dengan habitat asli di daerah terumbu karang di laut dalam yang jernih dan bersih.  Berkembangnya bakteri vibrio di suatu perairan merupakan indikator perairan yang kurang menguntungkan bagi ikan dengan kandungan nutrien yang tinggi (Andrews et al., 1988).
Penyakit yang disebabkan oleh vibrio juga merupakan masalah yang sangat serius dan umum menyerang ikan-ikan budidaya laut dan payau.  Penularannya dapat melalui air atau kontak langsung antar ikan dan menyebar sangat cepat pada ikan-ikan yang dipelihara dengan kepadatan tinggi.   Bakteri vibrio yang menginfeksi ikan kerapu stadia juvenil selain lemah, berwarna kusam kehitaman, dan produksi lendir berlebihan.  Pada tingkat parah, sirip punggung dan sirip ekor gripis dengan permukaan kulit menghitam seperti terbakar (Schubert, 1987).
Isolasi Ulang Bakteri
Isolat LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 dilakukan uji patogenisitas bakteri terhadap ikan kerapu sehat.  Dari hasil pengamatan ternyata bakteri LG-2802, LG-5802 dan LG-7802  pada kepadatan 108 cfu/ml dalam 24 jam setelah penyuntikan secara intra muscular memperlihatkan gejala klinis luka kemerahan pada tempat penyuntikan.  Hasil isolasi ulang bakteri dari organ ginjal dan luka pada lokasi penyuntikan ikan uji ternyata didapat bakteri  jenis yang sama.  Adanya bakteri yang sama pada ginjal membuktikan bahwa ginjal mempunyai fungsi retikulo-endotelial, yaitu kemampuan suatu organ untuk menyerap bakteri dari darah, dimana akumulasi bakteri yang diinjeksikan secara intramuskular lebih banyak ditemukan pada organ ginjal dan limpa daripada dalam organ hati (Saeed, 1995).  
Tabel 2.   Karakteristik dari bakteri isolat LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 yang diisolasi dari borok dan sirip busuk ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus, dan ikan kerapu Lumpur, Epinephelus coioides. 
Karakteristik
Isolat LG-2802, LG-5802 dan LG-7802
Holt et al.
(1994)
Isolasi ulang dari ginjal dan luka erosi
Pewarnaan Gram
-
-
-
Sitokrom oksidase
+
+
+
Katalase
+
Nt
+
Cahaya
-
D
-
Gerakan
D
D
D
Pertumbuhan pada TCBSA
Y
Y/G
Y
Pertumbuhan pada NaCl :




0 %
-
-
-

3 %
+
+
+

6 %
+
+
+

10 %
-
Nt
-
L – Arginin
-
D
-
L – Lysin
+
D
+
L – Ornithin
+
D
+
Hugh - Leifson (O-F)
F
F
F
Peka terhadap 150 mg
agen vibriotik 0/129
S

S

S

Sumber :  Holt et al. (1994)
D = Karakter berbeda antar spesies, Y = Kuning, F = Fermentatif, S = Peka, Nt = Tidak diuji, G = Hijau

Sensitivitas Bakteri terhadap Antibiotik
Pengujian dilakukan dengan menggunakan lempeng antibiotik untuk mengetahui jenis antibiotik yang dapat digunakan sebagai alternatif pengendalian infeksi bakteri baik melalui pakan maupun perendaman.  Tabel 3 menunjukkan bahwa bakteri LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 sensitif terhadap antibiotik kloramfenikol (30 mg) dan oksitetrasiklin (30 mg) dan tahan terhadap antibiotik ampisilin (10 mg) dan eritromisin (15 mg) yaitu dengan melihat diameter zona penghambatannya. 
Daya hambat antibiotik kloramfenikol terlihat lebih tinggi, akan tetapi untuk upaya pengendalian infeksi bakteri vibrio tidak dapat diaplikasikan, karena antibiotik tersebut berbahaya bagi manusia serta dapat menimbulkan resistensi terhadap bakteri.  Koesharyani et al., (2001)  menyatakan bahwa pengendalian infeksi bakteri seperti penyakit finrot efektif menggunakan nifurpirinol 10,0% dengan dosis 1-2 ppm selama 24 jam.  Namun terhadap ikan kerapu macan yang telah kehilangan sirip ekor tidak dapat disembuhkan.
Tabel 3. Sensitivitas bakteri LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 terhadap beberapa antibiotik  secara invitro
Jenis Lempeng Antibiotik
Konsentrasi
Zona Penghambatan
Eritromisin
15 mg
12 mm
Ampisilin
10 mg
8 mm
Kloramfenikol
30 mg
39 mm
Oksitetrasiklin
30 mg
33 mm
KESIMPULAN
Bakteri penyebab penyakit borok dan sirip busuk pada ikan kerapu di dalam keramba jaring apung adalah bakteri dari genus Vibrio sp. 
SARAN
Upaya pengendalian penyakit borok dan sirip busuk pada ikan kerapu tidak disarankan menggunakan antibiotik kloramfenikol, karena mempunyai efek negatif pada manusia dan dapat menyebabkan bakteri menjadi resisten.  Sebagai alternatif, disarankan menggunakan Nifurpirinol 10% dengan dosis 1-2 ppm selama 24 jam.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, S.  2001.  Pembesaran Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) dan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) di Karamba Jaring Apung. (In) Aliah et al.,  (Eds) Prosiding Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu, Jakarta, 28-29 Agustus 2001.  Hal. 141-148.
Andrews, C., A. Exell and N. Carrington.  1988.  The Manual of Fish Health.  Salamander Books Limited.  London. New York.  208pp.
Holt, J.G., N.R. Krieg, P.H.A. Sneath, J.T. Staley and S.T. Williams.  1994.  Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology.  Ninth Edition.  Williams & Wilkins.  BaltimoreUSA.  pp.
Johnny, F. dan D. Roza.  2002.  Kejadian Penyakit pada Budidaya Ikan Kerapu dan Upaya Pengendaliannya.  Laporan Hasil Penelitian Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali.  14 hal.
Johnny, F., dan Prisdiminggo.  2002.  Studi Kasus Penyakit Fin Rot Pada Ikan Kerapu Macan, Epinephelus Fuscoguttatus Di Karamba Jaring Apung Teluk Ekas, Desa Batunampar, Lombok Timur, NTB.  Laporan Hasil Penelitian Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali.  9 hal.
Kraxberger-Beatty, T., D.J. Mc. Garey, H.J. Grier and D.V. Lim.  1990.  Vibrio harveyi an Opportunistic Pathogen of Common Snook, Centropomus undecimalis (Bloch), Held in Captivity.  Journal Fish Diseases.  13:557-560.
Koesharyani, I. and  Zafran.  1997.  Studi Tentang Penyakit Bacterial Pada Ikan Kerapu.  Jur. Pen. Perikanan Indonesia.  III(4):35-39.
Koesharyani, I., D. Roza, K. Mahardika, F. Johnny, Zafran and K. Yuasa. 2001.  Marine Fish and Crustaceans Diseases in Indonesia In Manual for Fish Diseases Diagnosis II (Ed. by K. Sugama, K. Hatai and T. Nakai). 49 p. Gondol Research Station for Coastal Fisheries, CRIFI and Japan International Cooperation Agency.
Muroga, K., Gilda Lio-Po, C. Pitogo and R. Imada.  1984.  Vibrio sp. isolated from Milkfish (Chanos chanos) With Opaque Eyes.  Fish Pathology.  19(2):81-87.
Post, G. 1987.  Texbook of Fish Health. T.F.H. Publications Inc. USA. 288 pp.
Saeed, O.  1995.  Association of Vibrio harveyi With Mortalities in Cultured Marine Fish in Kuwait.  Aquaculture.  136:21-29.
Schubert, G. 1987.  Fish Diseases a Complete Introduction. T.F.H. Publications Inc. USA. 125 pp.
Subiyanto, I. Adisuko, S. Anwar, N. Yustiningsih, S. Prayitno, dan P. Sumardika.  2001.  Pengkajian dan Pengembangan Usaha Budidaya Ikan Kerapu Nasional.  (In) Aliah et al.,  (Eds) Prosiding Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu, Jakarta, 28-29 Agustus 2001.  Hal. 61-67.
Wijayati, A. dan I.S. Djunaidah.  2001.  Identifikasi Patogen Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Pada Berbagai Stadia Pemeliharaan. (In) Aliah et al.,  (Eds) Prosiding Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu, Jakarta, 28-29 Agustus 2001.  Hal. 81-88.
Zafran, D. Roza, I. Koesharyani, F. Johnny and K. Yuasa. 1998.  Marine Fish and Crustaceans Diseases in Indonesia In Manual for Fish Diseases Diagnosis (Ed. by K. Sugama, H. Ikenoue and K. Hatai). 44 p. Gondol Research Station for Coastal Fisheries, CRIFI and Japan International Cooperation Agency.